DETIK12.com – Nasabah gagal bayar (galbay) pinjaman online tentu sangat mengkhawatirkan keberadaaan debt collector (dc) di kediamannya.
Kenapa begitu? Karena beberapa dc yang bersifat arogan saat menagih utang membuat para nasabah tidak ingin menerima kedatangannya.
Sebenarnya, jika semua diterima dengan kepala dingin, baik nasabah galbay atau debt collector pinjol tidak akan berujung debat.
Pinjaman online saat ini tengah marak-maraknya, terlebih dengan gaya hidup yang kian hari mesti dipenuhi oleh kawula muda.
Tak sedikit, banyak masyarakat Indonesia menggunakan pinjol untuk bertahan hidup.
Benar, keberadaan industri fintech dalam menyediakan produk keuangan berbasis digital seolah membuka peluang baru bagi individu yang ingin mengajukan pinjaman.
Dalam kontras dengan layanan pinjaman konvensional yang disediakan oleh bank atau koperasi, berbagai fintech menawarkan produk pinjaman peer to peer lending (P2P Lending) atau pinjaman online yang dapat diajukan dengan mudah dan tanpa persyaratan yang rumit.
Karena kemudahan dan kecepatannya, fintech telah meraih popularitas yang besar di kalangan generasi milenial dan diperkirakan akan terus berkembang.
Hanya dengan menunjukkan dokumen pribadi seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga (KK), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan slip gaji, siapa pun dapat menjadi pengguna pinjaman online untuk menyelesaikan berbagai masalah keuangan.
Bahkan, dari pengajuan hingga pencairan dana kepada nasabah, fintech hanya memerlukan waktu kurang dari 24 jam.
Kelebihan ini telah membuat produk keuangan ini meraih popularitas dengan cepat dan semakin diminati oleh masyarakat dari berbagai latar belakang.
Namun sayangnya, di balik kemudahan dan kenyamanan yang ditawarkannya, banyak orang yang tidak bijaksana dalam memanfaatkan produk pinjaman online ini.
Padahal, jika dibandingkan dengan pinjaman konvensional, pinjaman online memiliki suku bunga yang cenderung lebih tinggi dan tenor cicilan yang lebih singkat.
Pada pinjaman online, biaya administrasi seringkali tidak transparan. Akibatnya, nasabah berisiko harus membayar lebih banyak dari yang disepakati awal.
Selain itu, nasabah juga dapat dikenai biaya denda keterlambatan dan denda-denda lain yang tidak masuk akal.
Keberadaan pinjaman online ini menjadi polemik karena rendahnya literasi keuangan pada masyarakat Indonesia.
Hal ini tentu berisiko membuat debitur pinjaman online untuk terjebak jeratan utang yang terlalu berat hingga tak mampu membayar cicilannya.
Pemberian data diri pada pinjaman online membuat nasabah mudah dikejar-kejar tentang utangnya.
Debt collector menebar ancaman mulai dari masuk pengadilan, ke penjara, sampai siap dipecat dari pekerjaan.
Tak hanya itu, beberapa warganet lain memang menyoroti Fintech pinjaman online yang bisa membaca data-data di ponsel nasabah.
Terkadang, disarankan agar kita berhati-hati dalam menggunakan pinjaman online. Hal ini karena meskipun kita mengajukan pinjaman, belum tentu permohonan kita akan disetujui, namun data pribadi kita sudah diperoleh oleh pihak penyedia pinjaman.
Selain itu, pinjaman online juga dianggap merugikan konsumen. Sebagai contoh, kita mungkin hanya mengajukan pinjaman sebesar Rp1 juta hingga Rp2 juta, tetapi penyedia pinjaman online bisa saja memperoleh seluruh data pribadi kita yang memiliki nilai jauh melebihi jumlah pinjaman yang diajukan.
Dalam sebuah video di akun TikTok dengan nama pengguna @kangpensi_, dijelaskan bahwa tindakan menyebarkan data pribadi secara sembarangan dapat mengakibatkan hukuman penjara selama 9 tahun.
Selain itu, pelaku juga akan dikenakan denda yang mencapai angka fantastis sebesar Rp 3 miliar.
Aturan hukum ini sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam pasal 32 ayat 2 dan pasal 48 ayat 2 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Dilansir dari Kompas.com, data pribadi merujuk pada informasi khusus mengenai individu yang disimpan, diperhatikan integritasnya, dan dilindungi kerahasiaannya.
Salah satu peraturan hukum yang mengatur tentang penyebaran data pribadi adalah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang telah mengalami perubahan melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013.
Menurut undang-undang ini, setiap orang dilarang untuk menyebarkan data pribadi tanpa hak.
Seseorang yang melakukan penyebaran data kependudukan dan data pribadi tanpa hak dapat dikenai hukuman pidana dengan penjara maksimal selama dua tahun dan/atau denda maksimal sebesar Rp 25 juta.
Apabila penyebaran data pribadi dilakukan melalui internet atau media elektronik lainnya, pelakunya dapat terjerat oleh Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.
Pelaku penyebaran data pribadi dapat dituntut berdasarkan Pasal 32 dan Pasal 48 UU ITE.
Ancaman hukuman yang serius menanti bagi pelaku penyebaran data pribadi, yakni hukuman penjara maksimal delapan hingga sepuluh tahun dan/atau denda mencapai Rp 2 miliar hingga Rp 5 miliar.
Peraturan lebih lanjut terkait perlindungan data pribadi dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi.
Undang-undang ini merupakan peraturan hukum terbaru yang berkaitan dengan perlindungan data pribadi dan telah disahkan pada tanggal 17 Oktober 2022.
Berdasarkan Pasal 67, setiap orang yang dengan sengaja dan melanggar hukum dengan mengungkapkan data pribadi yang bukan miliknya dapat dikenai hukuman penjara maksimal empat tahun dan/atau denda paling banyak Rp 4 miliar.
Sementara itu, setiap orang yang dengan sengaja dan melanggar hukum dengan menggunakan data pribadi yang bukan miliknya dapat dikenai hukuman penjara maksimal lima tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5 miliar.
Referensi:
UU Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan
UU Nomor 24 Tahun 2013
UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagaimana telah diubah dengan
UU Nomor 19 Tahun 2016 UU Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi
Demikian penjelasan terkait hukuman penyebaran data pribadi. Semoga artikel ini bermanfaat.**