HUKUMLINGKUNGANPEKANBARU

Yayasan Riau Madani Menangkan Gugatan Atas Kebun Sawit Ilegal Di Tahura Minas Riau

×

Yayasan Riau Madani Menangkan Gugatan Atas Kebun Sawit Ilegal Di Tahura Minas Riau

Share this article

RIAU, detik12.com – Untuk kali kedua dalam kurun dua pekan terakhir, Yayasan Riau Madani kembali memenangkan gugatannya terhadap keberadaan kebun kelapa sawit ilegal di dalam kawasan hutan di Provinsi Riau.

Yang terbaru, Yayasan Riau Madani pada hari ini, Senin (4/12/2023) memenangkan gugatan terhadap penguasaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit di Taman Hutan Raya (Tahura) Minas, Kabupaten Kampar. Tahura Minas ini populer dengan nama Tahura Sultan Syarif Hasim.

Adapun kemenangan beruntun Yayasan Riau Madani di Pengadilan Negeri Bangkinang ini tertuang dalam putusan perkara nomor 34/Pdt.G/LH/2023/PN Bkn tertanggal 4 Desember 2023.

“Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya,” demikian bunyi amar putusan majelis hakim yang diperoleh SabangMerauke News, Senin malam tadi.

Dalam perkara ini, Yayasan Riau Madani menjadikan Roden sebagai tergugat. Sementara, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Provinsi Riau serta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI ditarik masing-masing sebagai turut tergugat I dan turut tergugat II.

Ikhwal perkara ini yakni menyangkut keberadaan kebun kelapa sawit seluas sekitar 195 hektare. Berdasarkan putusan majelis hakim, keberadaan kebun sawit itu berada di areal Taman Hutan Raya (Tahura) Minas Riau.

Tahura masuk dalam kategori kelompok hutan konservasi yang wajib hukumnya dijaga, dilindungi dan dilestarikan keberadaan, bukan sebaliknya dijadikan kebun kelapa sawit.

Dalam amar putusannya, majelis hakim juga menyatakan kalau tergugat Roden telah melakukan perbuatan melawan hukum.

“Menyatakan bahwa status objek sengketa yang terletak di Desa Kota Garo, Kecamatan Tapung Hilir, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau dan secara geografis berada di antara titik kordinat (yang dicantumkan dalam gugatan) adalah merupakan kawasan hutan (Taman Hutan Raya Minas),” demikian amar putusan majelis hakim.

Tak hanya itu, majelis hakim dalam putusannya juga menghukum tergugat  untuk memulihkan objek sengketa sampai seperti keadaan semula, dengan cara menebang seluruh tanaman kelapa sawit yang ada di atas objek sengketa seluas ±195 hektare.

“Membongkar seluruh bangunan yang ada di atasnya, setelah itu melakukan penanaman kembali (reboisasi) dengan menanam tanaman kehutanan dan kemudian setelah itu menyerahkan objek sengketa kepada negara Republik Indonesia (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia),” tulis majelis hakim dalam amar putusannya.

Selain itu, majelis hakim juga menghukum tergugat untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 1 juta setiap harinya, apabila tergugat lalai melaksanakan putusan ini.

“Menghukum turut tergugat I (Dinas LHK Provinsi Riau) dan turut tergugat II (Menteri LHK Republik Indonesia) untuk  tunduk dan patuh pada putusan ini,” demikian putusan majelis hakim sebagaimana dilansir SabangMerauke News.

Putusan ini ditetapkan oleh majelis hakim yang diketuai oleh Andry Simbolon SH, MH serta Fetra Jeany Siahaan SH dan Renny Hidayati SH masing-masing sebagai anggota majelis hakim.

Belum diketahui apakah Roden, Dinas LHK Riau dan Menteri LHK mengajukan banding atas putusan PN Bangkinang ini.

Kesampingkan UU Cipta Kerja

Putusan perkara ini menghadirkan sesuatu yang spesial utamanya bagi upaya penyelamatan hutan tersisa saat ini.

Dalam putusannya, majelis hakim secara tegas dan berani mengambil terobosan hukum dengan mengesampingkan dalil-dalil tergugat yang menggunakan jurus serta tameng Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan sejumlah aturan turunannya.

Soalnya, dalam eksepsinya tergugat menyebut kalau kebun sawit tersebut telah masuk dalam proses penyelesaian penguasaan hutan tanpa izin yang tengah digencarkan oleh Kementerian LHK Republik Indonesia.

Dalil tergugat juga menyertakan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 yang merupakan instrumen turunan dari UU Cipta Kerja, namun dalil ini juga dikesampingkan oleh majelis hakim.

Lebih dari itu, tergugat juga mengklaim kalau kebun sawit yang berada di Tahura Minas itu, telah masuk dalam lampiran Surat Keputusan Menteri LHK nomor: SK.1077/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2022 tentang Data dan Informasi Kegiatan Usaha yang Telah Terbangun di Kawasan Hutan yang Tidak Memiliki Perizinan Kehutanan.

SK Menteri LHK tersebut merupakan satu dari 12 paket SK yang pernah diteken oleh Siti Nurbaya. Secara khusus, SK tersebut diterbitkan pada tahap ketujuh dari 12 SK yang ada sampai saat ini, sejak pertama kali digagas oleh Siti Nurbaya pada 2021 silam.

Tergugat dalam dalilnya juga menyebut kebun sawit yang dikelolanya telah masuk dalam Peta Indikatif Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam rangka Penataan Kawasan Hutan (PPTPKH) sebagaimana terbuat dalam Keputusan Menteri LHK Nomor: SK.903/MENLHK-PKTL/PPKH/PLA.2/2/2023.

Kedua SK Menteri LHK Republik Indonesia itu diklaim oleh tergugat sebagai izin dalam menguasai lahan kawasan hutan.

Namun, sejumlah dalil tergugat yang berlindung pada tameng UU Cipta Kerja tersebut oleh majelis hakim dalam pertimbangan hukumnya dikesampingkan.

Alasannya bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan putusan perkara uji materiil Nomor 91 Tahun 2021.

Hal yang sama juga berlaku terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 yang merupakan turunan langsung UU Cipta Kerja.

Berdasarkan putusan MK, pemerintah dilarang untuk mengambil kebijakan dan langkah strategis sebagai tindak lanjut pelaksanaan UU Cipta Kerja sebelum dilakukan perbaikan.

Namun kenyataan, pemerintah justru menerbitkan instrumen turunan UU Cipta Kerja dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan sejumlah produk peraturan dan keputusan menteri terkait.

Sementara, meski UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja telah diganti/ direvisi dengan terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2023, faktanya sampai saat ini belum ada aturan pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah maupun beleid lainnya.

Ketua Tim Hukum Yayasan Riau Madani, Dr (Cd) Surya Darma SAg, SH, MH, menyampaikan apresiasi atas putusan majelis hakim yang telah memutus perkara sesuai gugatan.

Surya Darma menilai, kecermatan dan keberanian majelis hakim telah menjadi angin segar bagi penegakan hukum dan penyelamatan hutan di Riau dan Indonesia secara umum.

Menurutnya, dalam kasus-kasus lingkungan dan kehutanan, kecermatan dan kearifan hakim sangat diharapkan. Para hakim yang ‘pro natura’ menjadi benteng terakhir agar hutan tersisa bisa diselamatkan.

“Apalagi selama ini memang kerap kali UU Cipta Kerja dijadikan sebagai alasan pembenaran untuk menguasai hutan tanpa izin. Efeknya, perambahan hutan seakan-akan mendapat perlindungan hukum. Padahal dampaknya sangat massif dan destruktif,” tegas Surya Darma.

Kemenangan Beruntun Yayasan Riau Madani

Sebagaimana diketahui sebelumnya, bahwa Yayasan Riau Madani juga telah memenangkan gugatan di pengadilan atas keberadaan kebun kelapa sawit seluas sekitar 180 hektare dalam kawasan hutan tanpa izin di Desa Bencah Kelubi, Kecamatan Tapung, Kampar, Provinsi Riau.

Kemenangan Yayasan Riau Madani ini diperoleh atas dikabulkannya gugatan di Pengadilan Negeri Bangkinang dengan nomor putusan 17/Pdt-G/LH/2023/PN Bangkinang tanggal 20 November 2023. Adapun perkara ini didaftarkan sebelumnya pada 15 Februari 2023 silam.

Yayasan Riau Madani selama ini diketahui cukup konsisten dan aktif melakukan gugatan hukum di bidang lingkungan hidup, secara khusus sektor kehutanan ini, menggugat Edi Basri sebagai tergugat. Sementara PT Arara Abadi diseret sebagai turut tergugat I dan Menteri Lingkungan Hidup (LHK) Republik Indonesia ditarik sebagai turut tergugat II.

Dalam persidangan, Yayasan Riau Madani menunjuk pengacara Dr (Cd) Surya Darma SAg, SH, MH sebagai Ketua Tim Hukum. Sementara Edi Basri memberi kuasa kepada pengacara Deprianda SH, MH. Kuasa hukum PT Arara Abadi dalam perkara ini adalah Sartono SH.

Dalam amar putusannya pada pokok perkara, majelis hakim mengabulkan gugatan penggugat Yayasan Riau Madani untuk seluruhnya.

“Menyatakan bahwa tergugat konvensi telah melakukan perbuatan melawan hukum,” tulis hakim dalam putusannya yang dilihat SabangMerauke News, Jumat (24/11/2023).

Majelis hakim juga menyatakan bahwa status objek sengketa yakni kebun sawit seluas 180 hektare di Desa Bencah Kelubi, Tapung, Kampar Provinsi Riau itu, berdasarkan titik koordinat yang dibuktikan dalam persidangan adalah merupakan kawasan hutan.

Atas dikabulkannya gugatan tersebut, maka tergugat diperintahkan untuk memulihkan objek sengketa yakni kawasan hutan yang telah ditanami kebun sawit.

“Menghukum tergugat  konvensi untuk memulihkan objek sengketa seluas ± 180 hektare terletak di  Desa Bencah Kelubi Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar Provinsi Riau,” demikian putusan hakim.

Selain itu, hakim juga menghukum tergugat konvensi untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 10 juta setiap harinya kepada negara apabila tergugat konvensi lalai melaksanakan isi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).

“Menghukum turut tergugat I konvensi dan turut tergugat II konvensi untuk tunduk dan patuh pada putusan ini,” tegas majelis hakim.

Belum diketahui apakah Edi Basri, PT Arara Abadi dan Menteri LHK Siti Nurbaya mengajukan banding atas putusan ini.

Ketua Tim Hukum Yayasan Riau Madani, Dr (Cd) Surya Darma SAg, SH, MH mengapresiasi putusan hakim PN Bangkinang yang mengabulkan gugatannya.

Ia menilai, substansi dan spirit hakim yang memutus perkara sangat sensitif terhadap penyelamatan hutan dan lingkungan (pro natura).

“Putusan ini menjadi energi positif pada upaya penyelamatan dan mempertahankan kawasan hutan di Riau,” kata Surya Darma, Jumat pagi tadi.

UU Cipta Kerja yang Inkonstitusional Dikesampingkan

Selain itu, putusan ini sekaligus menjadi bukti bahwa dalih keterlanjuran dan pengampunan atas keberadaan kebun sawit dalam kawasan hutan tanpa izin yang diatur dalam Undang-undang Cipta Kerja, telah dapat dikesampingkan.

Soalnya, UU Cipta Kerja telah dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai UU yang inkonstitusional bersyarat.

Ironisnya, meski UU Cipta Kerja telah dinyatakan MK inkonstitusional, namun pemerintah justru tetap nekat menerbitkan turunan peraturan yang mengatur tentang penyelesaian penguasaan kawasan hutan tanpa izin lewat jalur pengenaan sanksi denda administrasi.

Adapun turunan UU Cipta Kerja tersebut yakni Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan.

Lewat beleid itulah, pemerintah saat ini ingin melakukan pemutihan dan pengampunan atas penguasaan hutan tanpa izin, secara khusus bagi kelompok dan korporasi kebun kelapa sawit.

Bahkan, atas dasar PP Nomor 24 Tahun 2021 itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya telah melakukan pendataan dan inventarisasi kebun sawit dalam kawasan hutan untuk dimasukkan ke dalam kebijakan pengampunan atau pemutihan.

“Bagaimana mungkin undang-undang yang telah dinyatakan inkonstitusional dijadikan rujukan dalam menerbitkan peraturan pemerintah sebagai aturan teknis pelaksanaan UU tersebut. Ini sangat tidak logis dan tidak memiliki kepastian hukum,” pungkas Surya Darma.**